tentang ide

Dan aku tidak akan lagi percaya pada ide dari cerita-cerita lainnya

Jumat, 10 Desember 2010

Aku dan Beliau: Bagian III

Langkah kakiku sigap saat melangkah menuju pintu masuk rumahsakit yang temanya "bersahabat". Pintu kaca bergagang pintu silver mengilap kusibakkan. Terasa benar hawa dingin yang dihembuskan mesin pendingin ruangan itu. Aku mengamati sebentar ke sekitar ruang tunggu rumahsakit yang agak sepi itu. Beruntung aku menangkap sesosok yang kukenal sehingga tak butuh waktu yang lama bagiku untuk menemukan keluargaku yang sudah terlebih dahulu sampai di rumahsakit.
"Pak, Eyang di mana sekarang?", tanyaku pada bapak dengan suara bernada rendah.
"Eyang lagi di ICU", jawab Bapakku dengan wajah yang letih. "Bapak mau urus registrasi sama administrasinya dulu. Kamu tunggu aja di sini. Di dalem gak boleh terlalu banyak yang nunggu", bapak menambahkan.
"Oh, yaudah", timpaku pada pernyataan bapak barusan.
Perlahan aku menuju sebuah bangku berwarna biru tepat di sebelah seorang ibu yang sepertinya juga sedang mengurusi registrasi sanak saudaranya yang sakit. Aku memperhatikan tingkah pola anaknya yang tidak bisa diam seperti cacing kepanasan. Bosan melihatnya. Bosan menunggu kabar yang nantinya diberikan dokter mengenai diagnosa penyakit kakek.
"Apakah Kakek akan dan ahrus di rawat inap?", terlintas cepat perkataan itu dalam benakku.
Aku rasa tak baik berpikir begitu. Sambil mencoba menghilangkan pikiran-pikiran ngawur yang selau lewat tiba-tiba, aku merogoh tas rajutan jaring yang kubawa. Perlahan kuambil buku kumpulan cerpen di dalamnya.
Membuka lembar demi lembar yang sebelumnya sudah terbaca sampai terhenti pada suatu halaman dengan kertas pembatas di antara ruas-ruas halaman. Aku mulai asyik membaca, namun agak sedikit kumat. Beginilah diriku. Ketika sedang asyik membaca dan mulai terbawa jalan cerita, rasa kantuk yang maha dahsyat melanda. Mirip orang sakit yang terkena efek bius seorang dokter. Aku terlelap, tapi sekejap terbangun dan terperanjat kaget entah karena apa.
Hampir satu jam aku menunggu, belum jua ada kabar yang datang. Sekalipun nenek, om, pakde dan ayah bergiliran datang menghampiriku tetap belum ada hasil pemeriksaan.
Aku mulai meragukan kompetensi rumahsakit ini.
"Rumahsakit macam apa ini?!", teriakku dalam hati.
---
Jam digital di tanganku sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sudah ada diagnosa. Dokter nyatakan Kakek harus segera dirawat inap. (in progress)

2 komentar:

  1. nah, ini udah mulai asik dibaca :)
    terus menulis ya tuan hampa kata.

    BalasHapus
  2. ini based on true story ya masbro?
    bagus nih.. gw tunggu ya lanjutannya :)

    BalasHapus

Bila malam belum habis

"aku akan terus menulis
bukan karena semata-mata
keinginanku sendiri
melainkan karena tuntutan
jiwaku untuk terus dan tetap
mewarnai setiap jengkal
dunia sastra

:aku berpijak di sana"