tentang ide

Dan aku tidak akan lagi percaya pada ide dari cerita-cerita lainnya

Jumat, 29 Maret 2013

SEDIKIT MENGENAI STUDI FILOLOGI




SEDIKIT MENGENAI STUDI FILOLOGI[1]
Abimanyu Isranto[2]

Pengantar
                  Indonesia sebagai sebuah bangsa memiliki perjalanan panjang dari berbagai aspek kehidupan termasuk aspek budaya. Budaya yang berkembang di wilayah-wilayah yang sekarang disebut Indonesia tercipta melalui persentuhan dengan kebudayaan lain. Ada banyak faktor persentuhan yang menciptakan kebudayaan Indonesia hingga seperti sekarang, di antaranya melalui  kedatangan bangsa lain dan proses penyebaran agama. Tidak dapat dimungkiri bahwa kedatangan bangsa-bangsa lain seperti India, Parsi dan Arab pada masa lampau telah banyak mempengaruhi bentuk kebudayaan Indonesia dari berbagai sisi. Satu dari kebudayaan yang mendapat pengaruh tersebut ialah kebudayaan tulis.
                  Perlu diketahui bahwa ketika kertas masuk di wilayah Nusantara, maka berakhirlah penggunaan batu (prasasti) sebagai media penulisan di wilayah Nusantara. Media kertas dipilih sebagai pengganti prasasti untuk mendokumentasikan hal-hal yang ingin diwariskan pada generasi selanjutnya seperti silsilah kerajaan, hukum adat-istiadat, hukum dagang, karya sastra (syair dan hikayat), dan surat-surat. Tradisi tulis tersebut mulanya hanya diperkenankan bagi kalangan-kalangan tertentu seperti kalangan istana dan kalangan cendikiawan. Akan tetapi, dalam perkembangannya ada pula penulis yang bukan berasal dari kalangan istana dan menulis untuk mendapatkan penghasilan.
                  Kehadiran mesin cetak menjadi penanda berakhirnya tradisi tulis di wilayah Nusantara, yakni pada kisaran abad ke-19 dan ketika dipergunakannya tulisan latin yang dibawa oleh orang-orang Eropa sejak zaman kedatangan mereka untuk berdagang di wilayah Indonesia. Tulisan-tulisan yang dihasilkan melalui tradisi tulis klasik tersebut dipelajari dan dikaji oleh orang-orang Eropa karena dirasa tulisan-tulisan tersebut bermanfaat agar mengetahui kerohanian suatu bangsa.

Filologi Sebagai Sebuah Studi
                  Pada bagian pengantar buku Filologi Melayu, Sudjiman (1995: 9) pertama-tama memberikan pemahaman mengenai istilah filologi. Pada mulanya filologi merupakan bidang yang mengkaji teks-teks lama yang sampai pada pembaca/peneliti di dalam bentuk salinan-salinannya, dengan tujuan menemukan bentuk teks yang asli (mendekati asli) dan untuk mengetahui maksud penyusunan teks itu. Secara ringkas, Robson (1994: 12) menyederhanakan tugas seorang filolog[3], yakni menyajikan dan menafsirkan naskah klasik kepada khalayak umum. Cara yang dilakukan ialah dengan memperhatikan kesalahan-kesalahan penulisan yang dibandingkan antara salinan teks satu dengan yang lain. Dengan cara itu dimungkinkan dapat mengetahui silsilah teks naskah sampai pada naskah yang dipandang asli. Mengingat proses penyalinan yang tidak hanya terjadi secara vertikal, tetapi juga secara horisontal maka ada di antara perbedaan-perbedaan dalam salinan merupakan sebuah kesengajaan sebagai bentuk kreativitas penyalin sesuai dengan zaman pembuatannya.
                  Sebagai sebuah bidang ilmu, filologi[4] memiliki batasan kajian. Batasan kajian itu ialah bahwa filologi merupakan bidang kajian yang mengkaji teks di dalam sebuah naskah. Dengan demikian, objek kajiannya adalah berupa benda konkret yakni naskah atau teks-teks yang mungkin dulunya dilisankan, tetapi telah ada bentuk tulisnya. Perlu diketahui perbedaan pemaksudan antara teks dan naskah. Teks mengacu ke kandungan naskah yang bersifat abstrak, sedangkan naskah merupakan material konkret yang dapat dijamah (berupa media penulisan seperti kertas) (Sudjiman: 1984: 11). Berkaitan dengan dua pemaksudan tersebut, di dalam filologi ada pula percabangan kajian, yakni tekstologi dan kodikologi. Tekstologi menitikberatkan kajian pada teks atau kandungan isi naskah, sementara kodikologi (berasal dari istilah codex ‘naskah’) mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan naskah, seperti bahan media tulis, tinta, umur naskah, penyusun atau penyalin, serta tempat penulisan/penyalinan.
                  Di dalam usahanya mengkaji sebuah naskah, seorang filolog haruslah mengikuti langkah kerja berupa metode penelitian teks. Langkah-langkah kerja yang harus dilakukan secara berurutan oleh seorang filolog yaitu: (1) inventarisasi naskah, (2) deskripsi naskah, (3) pengelompokan dan perbandingan teks, (4) transliterasi dan suntingan teks, dan (5) terjemahan (Lubis, 1996: 64). Pada umumnya dalam studi filologi Melayu, langkah kerja yang dipakai hanya sampai transliterasi dan suntingan teks. Langkah kerja berupa terjemahan hanya dilakukan bila bahasa yang digunakan dalam teks tidak dipahami oleh khalayak pembaca.

Daftar Pustaka
Lubis, Nabilah. 1996. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab     
            Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.
Robson, S. O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Cet. I. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.


[1] judul tulisan sebagai pengantar diskusi dalam Anggoroan Markas Sastra pada Kamis, 11 Oktober 2012.
[2] mahasiswa program studi Indonesia angkatan 2010. Menjadi koordinator Markas Sastra mulai tahun 2011 hingga akhir 2012.
[3] merupakan sebutan bagi orang yang bergelut dan mendedikasikan diri pada bidang filologi.
[4] batasan lain yang berlaku dalam filologi di Indonesia/Nusantara ialah mengenai rentang waktu karya yang dapat dijadikan kajian filologi yaitu pada rentang mulai masuknya budaya tulis hingga budaya cetak yang menggunakan cap pada kisaran akhir abad ke-19 Masehi.

Rabu, 27 Maret 2013

Menyoal Perbandingan dan Analogi: Belajar dari Kesalahan Masa Silam

   Pertama-tama mari kita ingat-ingat sejenak--bagi Anda yang pernah secara sengaja atau pun tidak--bagi yang pernah menemui tulisan Tuan Hampa Kata (Tehaka) terkait Paragraf Perbandingan dan Paragraf Analogi. Selanjutnya, di kesempatan ini, Tehaka menjabarkan secara sekadarnya (tanpa disertai referensi buku--untuk sementara ini--hanya menggunakan pemahaman yang mendewasa) mengenai dua soal itu: Perbandingan dan Analogi.
   Bagi Anda yang hendak memahami betul konsep yang membedakan antara perbandingan dan analogi, kira-kira begini jalan pemahaman yang sekiranya harus ditempuh. Perbandingan dan Analogi, keduanya dipahami sebagai gaya bahasa. Gaya bahasa yang seperti apa? Gaya bahasa yang di masing-masingnya menitikberatkan pada adanya perbedaan atau bahkan persamaan pada sepasang hal yang diperbandingkan atau dianalogikan. Lalu bagaimana membedakan keduanya secara mudah? Sekiranya begini (ampun deh bertele-telenya...).
    Satu, Perbandingan sepintas saja kita tahu bahwa ada dua hal yang menjadi pokok suatu persoalan yang diperbandingkan. Tidak bisa membicarakan satu hal tanpa menyinggung hal lainnya di dalam perbandingan. Dua hal itu biasanya benar-benar diuraikan secara sama. Titik pemahaman kita mesti difokuskan pada adanya perbedaan dari dua jenis hal yang dianggap mirip, sama, atau identik. Oleh karena hal yang dibicarakan memiliki kemiripan, kesamaan, atau keidentikkan, maka melalui sarana perbandingan kedua hal itu didedah untuk mengetahui sedikit beda di antara kedua hal itu.
    Kedua, Menyoal analogi dalam tulisan ini. Pada umumnya analogi dilakukan dalam rangka memberikan efek sebagai ciri khas bergaya bahasa. Analogi biasanya ditampilkan sepintas pada suatu karya dengan maksud memudahkan di dalam pemberian gambaran kepada pembaca. Pemaksudannya adalah agar para pembaca dapat memahami secara mudah terhadap suatu soal yang konsepnya sulit dimengerti. Misalnya: Kehidupan manusia tak ubahnya seperti metamorfosis kupu-kupu (Ini adalah tesis yang dikeluarkan pertama kali dalam melakukan analogi, selanjutnya dipaparkan pemaksudan metamorfosis kupu-kupu itu). Semula hanyalah larva/telur yang terbatas geraknya seperti dalam kandungan. Kemudian berubah menjadi ulat yang pergerakannya lebih bebas daripada larva namun dapat berkehendak meskipun lamban geraknya. Selanjutnya masuk ke dalam fase kepompong, yang seolah merenungi setiap hasil jerih payahnya, yang didapatnya dari sementara kehidupan. Melewati masa-masa itu, maka kupu-kupu sempurna keluar dari kepompong. Mampu beterbangan ke angkasa, ke mana kupu-kupu itu berkehendak. Sebebas-bebasnya, sesuka hatinya dengan tetap menanggung kewajiban mencari makan buat diri sendiri. 
    Kalau Anda (para pembaca) mengerti pada contoh yang Tehaka berikan, kemungkinan Anda mendapat pemaksudan bahwa saya hendak memberikan penggambaran mudah kehidupan manusia yang mirip dengan kupu-kupu. Manusia yang dari cara berpikirnya dan ruang geraknya terbatas ketika di kandungan (larva/telur), lalu meningkat menjadi anak kecil (ulat), masuk ke dalam pencarian jati diri sebagai remaja (ulat) dan merenunginya di waktu remaja pula (kepompong), kemudian di akhirnya mampu menentukan jalan atas pilihan hidupnya sendiri sebagai orang dewasa (kupu-kupu).
    Itulah satu dua persoalan yang Tehaka jabarkan terkait penyempurnaan atas ketidaksempurnaan posting-an sebelumnya. Semoga khalayak pembaca tiada punya satu rasa jenuh melihati dan membacai tulisan Tehaka. Tehaka berharap para pembaca sekalian memahami kerumitan pola pikir Tehaka. Tehaka semata-mata hadir demi memberikan cakrawala dialog di dalam kepala masing-masing pembaca.


Salam Hangat  Buat Segenap Pembelajar,
dari yang Mencintai Belajar sampai Tutup Umur

Senin, 25 Maret 2013

Tahun ini





          Ada hal yang mungkin cukup menarik buat tahun ini.
         Sudah sejak lama aku damba pada tumpukan kertas yang dibendel jadi satu. Di sana barangkali bisa dituang bebas segala peluh dari pena-penaku. Aku bermimpi mewariskan suatu yang bakal orang tak pahami sekarang dan mungkin bakal dipahami ratusan tahun kemudian. Ini adalah cita-cita kebudayaan dari sebuah pemikiran kemanusiaan yang tinggi--menurutku. Mungkin Soe pernah bilang: kita tak pernah menanamkan apa-apa, jadi kita takkan pernah kehilangan apa-apa. Tapi bagiku, menanam adalah suatu hal yang penting (bukan berarti aku tak sependapat dengan Soe, cuma aku lebih kaya dalam sudut pandang).
         Desakan hasrat kepada pena-lah yang nantinya benar-benar bakal jadi suatu peninggalan yang artistik. Peninggalan sesosok kemanusiaan. Entah mengapa cita-citaku sering setinggi langit. Namun bukan cita-cita atas suatu bentuk konkret yang mungkin bakal kureguk sendiri. Aku berharap pada suatu yang lebih besar. Sumbangsih rasa kemanusiaan yang terwujud menjadi pemahaman kebudayaan lewat kemanusiaan itu sendiri. Mungkin dalam beberapa kasus aku tak terlihat sebagai orang yang berjiwa humanis. Cuma agaknya aku masih ragu, manakah dalam suatu kasus kita berdiri jika bukan pada posisi kita masing-masing. Selanjutnya bolehlah berdiri pada pijakan kemanusiaan ketika lepas kewajiban-kewajiban pokok.
          Tapi lagi-lagi juga aku punya seribu macam sudut pandang yang mungkin bisa aku pegang sebagai tuntunan. Barangkali rasa kemanusiaan dan menjadi manusialah yang tugas pokok. Sebagaimana aku pernah merasa kewajiban akan Sang Khalik adalah mutlak. Peduli setan dengan pekerjaan-pekerjaan duniawi. Namun toh tak selamanya begitu. Keseimbangan menjadi kunci yang terpenting.
          Ada kalanya bukan kita yang harus berseru-seru membenahi hak kemanusiaan itu. Bolehlah ketika dalam hal yang sepele tiba giliranku yang menjadi pembela kemanusiaan itu. Bahkan orang lain pun bisa melakukan hal yang sama. Sejauh mana orang itu punya cara pandang kurasa setiap detik ada saja hal yang sangkut paut dengan rasa kemanusiaan itu. Percayalah.
         Dan aku bukan orang yang sendirian dalam mempercayai ini. Aku paham di luar sana ada yang bersependapat denganku. Cuma mungkin mereka merasa cukup melihat aku yang mewakilinya. Mereka akan mewakiliku dalam cara mereka sendiri. Aku percaya kalian semua, para pemegang panji-panji kemanusiaan.
        Terlepas dari itu semua, aku dibantu oleh kawan baru untuk mewujudkan cita-cita besarku. Ia diperkenalkan oleh seorang sahabat, Pram namanya. Dan kawan baru itu dikenalkan padaku dengan sebutan "Minke". "Tuan Muda Minke". "Sinyo Minke".

                                                                                                             Salam Tahun Ini,
                                                                                                        dari Yang Bercita-cita

Catatan dari Balada Orang-orang Tersesat






          Aku sempat tak mengerti kenapa begini, dan kenapa begitu. Tersesat. Seperti kata kebanyakan orang jika tak tahu lagi tentang suatu apa. Tersesat dan aku masih tahu di mana peta kutaruh. Peta yang membebaskanku dari ketegangan sesat.
         Aku percaya pada suatu kebaikan. Kebaikan mereka yang berbeda pandangan. Mereka melihat dari sudutnya masing-masing. Yang tak baik adalah ketika menabrakkan keduanya dalam keadaan sama keras. Beruntung salah satu sisi melunak--mungkin selalu saja melunak sejak sekian ratus tahun, di saat yang lain mengeras. Ini menjadi kunci perenungan atas suatu sejarah yang menyedihkan.
         Aku pun paham betul kenapa yang lain selalu saja mengeras. Itulah yang unik. Ketika suatu yang keras berjalan atas nama suatu kebaikan dan mencoba menguatkan diri sendiri dari apa yang didapatnya. Aku bersyukur, aku menerimanya dengan sangat lapang dada. Yang terpenting adalah menyelamatkan diri sendiri. 
        Mengapa menyelamatkan diri sendiri. Sama halnya ketika dua sosok mencoba menguatkan lain dengan jalan bersatu. Mungkin saling erat dalam peluk. Namun ketika suatu makhluk menarik inti sosok--hanya satu dari keduanya, maka yang tercerabut hanya satu juga. Dan sia-sialah yang lainnya menjadi sisa-sisa kehidupan.
        Sekarang aku mulai berdebat dan mencoba menguatkan diriku. Ini bukan soal mereka yang mau menyampaikan suatu hal yang keras. Ini permasalahan aku sendiri sebagai manusia bebas. Tapi sebebas-bebasnya pun aku masih kenal Yang Maha buat segala-galanya. Mengapakah tidak diberikan jalan yang lebih lunak buat aku atasi sendiri. Mengapakah mesti ada ketentuan yang amat rumit. Yang manusia sendiri ragu-ragu untuk memecahkannya.
       Kita belum lagi bercinta. Betapakah rindunya engkau dalam buaianku? Sementara aku jadi kesal bila kemauanku tak dituruti. Ditambah aku takut harus berhadapan langsung denganmu. Semua dalam genggamanmu. Siapa bakal peduli dengan aku yang seorang. Kalau bukan diriku sendiri? Lalu di mana kebahagiaanku dalam memilih perlintasanku? Aku tetap mencintaimu, percayalah. Akankah aku berdusta dengan pemegang segala ketentuan. Tapi tolong biarkan aku berbahagia dulu dengan yang lain.
       Sungguh aku aku akan menempuh dan berkeinginan tulus bersimpuh. Lapangkanlah apa yang menjadi inginku. Bila ada yang hendak kau ganti. Mari, tunjukkan selahnya, kumasuki celah itu. Walau terbata-bata.



                                                                                                       Salam buat yang tersesat,
                                                                                                        dari Orang-orang tersesat

Bila malam belum habis

"aku akan terus menulis
bukan karena semata-mata
keinginanku sendiri
melainkan karena tuntutan
jiwaku untuk terus dan tetap
mewarnai setiap jengkal
dunia sastra

:aku berpijak di sana"