tentang ide

Dan aku tidak akan lagi percaya pada ide dari cerita-cerita lainnya

Senin, 09 April 2012

Kejutan Magis Danarto dalam Kacapiring



oleh Abimanyu Isranto[1]

            Danarto. Cukup singkat nama yang ia bubuhkan dalam karyanya yang berjudul Kacapiring. Bagi orang yang baru melihat sampul buku tersebut pastinya akan mengira cerpen-cerpen yang ditawarkan di dalamnya merupakan cerita-cerita yang romantis. Namun apabila telah membaca karyanya tersebut, sudah barang tentu mayoritas pembacanya akan bergidik membayangkan kejadian-kejadian yang coba dideskripsikan Danarto dalam cerita-ceritanya tersebut. Buku kumpulan cerpennya (Kacapiring) yang memiliki kira-kira 160 halaman itu sedikit banyak telah mengobrak-abrik ranah kewajaran berpikir saya.
          Kumpulan cerpen berjudul Kacapiring terdiri dari 18 cerpen, diantaranya berjudul “Jantung Hati”, “Lailatul Qadar”, “Kacapiring”, “Nistagmus”, “Lauk dari Langit”, “Ikan-Ikan dari Laut Merah”, “Pohon Rammbutan”, “O, Yerusalem”, “Pohon Zaqqum”, “Pantura”, dan “Bengawan Solo”. Rata-rata dari judul-judul tersebut telah mewakilkan akun setiap cerita, baik berupa benda maupun kejadiannya. Tak jarang judul-judul tersebut memberi tenaga yang lebih bagi kekuatan ceritanya.
          Lalu kalau ditanyakan, bagaimanakah realisme magis ala Danarto? Mungkin kata pertama yang keluar dari mulut saya adalah ”fantastis!”. Bagi saya, tak bisa diragukan lagi kapabilitas seorang Danarto yang kini dilabeli sebagai sastrawan pelopor realisme magis di Indonesia. Kepiawaiannya mengolah cerita menjadi sesuatu yang menakjubkan sekaligus menyeramkan sangatlah jitu. Selalu ada kejutan yang tak bisa kita pahami secara mudah dalam beberapa cerpennya. Ya, inilah realisme magis. Realisme magis berarti mencoba merealisasikan hal-hal magis—yang berada di luar jangkauan kelogisan pemikiran manusia ke dalam kehidupan nyata dalam cerita.
          Dalam cerita-ceritanya tersebut, Danarto tidak melulu menjadikan tokoh manusia sebagai tokoh sentral yang menuntun jalannya cerita. Dengan aliran realisme magis yang diusung, ia jauh lebih fleksibel memakai simbol-simbol kebendaan apapun menjadi hidup, yang mampu mengangkat sebuah cerita.
          Setelah membaca cerpen-cerpen Danarto dalam Kacapiring, saya membuat beberapa paradigma pribadi mengenai karakteristik aliran realisme magis ala Danarto. Pertama, Danarto mengemas ceritanya dengan berpijak pula pada keyakinan spiritualitas. Sangat kentara sekali sisi spiritualitas—terutama Islam yang mengemas kejadian-kejadian magis tersebut. Kedua, dalam beberapa cerita ia menjadikan sosok kyai yang dianggap masyarakat Indonesia juga sebagai orang sakti (disamping sebagai ahli agama) untuk menambah aura kemagisan di dalamnya. Kehadiran tokoh kyai pada beberapa cerita juga menjadi tolok ukur seorang kyai sebagai seorang penemu dan penunjuk solusi akan masalah kehidupan umat. Ketiga, apabila sentral ide terdapat pada simbol-simbol kebendaan, maka kemagisan bermuasal dari benda tersebut. Atau bisa dikatakan benda tersebutlah yang melatarbelakangi kejadian-kejadian magis dalam kehidupan.
          Hampir seluruh cerita tersebut memiliki amanat inti yang serupa, yakni ’apapun bisa saja terjadi di dunia ini’. Lebih dari itu, amanat yang hendak disampaikan ialah bagaimana kita sebagai manusia harus selalu bisa mensyukuri segala yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa terhadap kehidupan kita. Misalnya saja kutipan yang diambil dalam cerpen berjudul Jantung Hati berikut ini.

     Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak berbatas, luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir. Terhadap kematian, sungguh seharusnya tidak diucapkan ikut berduka cita sedalam-dalamnya.[2]

Dari kutipan tersebut terlihat jelas Danarto mencoba menggambarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, yang dianggap buruk bagi orang lain, belum tentu buruk abgi diri kita. Dengan begitu kita akan senantiasa mensyukuri apapun kejadian yang akan menimpa pada diri kita.
          Kejadian-kejadian magis secara nyata mungkin belum pernah kita rasakan, namun dengan membaca karya Danarto, dapat memberikan kita sedikit kesiapan mental bila nantinya menemukan hal-hal magis serupa. Wawasan kegaiban kita yang mengering serasa diguyur air dingin setelah membaca karya Danarto.
          Kacapiring akan sedikit menyulitkan proses menikmati suatu karya bagi para pembaca awam. Untuk dapat menikmati karya Danarto ini, dianjurkan para pembaca untuk membuka jalan pikiran seluas-luasnya, berimajinasi segila mungkin dalam rangka mengimbangi deskripsi tulisan penulis dengan deskripsi visual yang pembaca buat sendiri.
          Kacapiring juga tidak cocok untuk diberikan kepada anak di bawah usia sekolah dasar sebagi bahan bacaan mereka. Kesulitan dalam mencari kenikmatan sebuah cerpen pastinya akan ditemukan oleh anak-anak usia pra-sekolah dasar dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang akan sulit dijawab juga oleh orang dewasa. Dengan begitu, karya Danarto ini lebih bersifat sebagai bacaan terbatas untuk orang-orang yang mampu membedakan logis dan magis.
          Dan terakhir, untuk para pembaca yang memiliki ketakutan akan dunia magis, saya sangat tidak menyarankan kalian membaca kumpulan cerpen Kacapiring dalam kondisi sunyi di sebuah ruangan yang redup, apalagi tengah malam.


[1] Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB-UI angkatan 2010. Mulai tertarik pada aliran realisme magis sekitar awal tahun 2011.
[2] Danarto. 2008. Kacapiring. Banana: Jakarta, hlm.10.

Rabu, 04 April 2012

Narasi Perjalanan

"Narasi Perjalanan"

fajar sepintas berlalu
kita masih merengek mengadu
pada induk semang kita yang memperkenalkan dunia...
bernaung putih menatap hampa

kita rasakan komunal keluarga
rasa pahit manis tertanggung bersama
terikat hati terkait sukma
rasa jiwa raga menyatu selamanya

teriknya siang masih jua terasa
untuk kita resapi faedah hangatnya
'lah kita dapati bersama pula
segala semangat juang membara di angkasa

siang satu matahari terasa kurang
berganda matahari tak buahkan berang
buas menerjang sumber yang menghadang
biar isi kepala terang benderang

siapkah kita? pada asa cita dahulu kala
beramal mulia atas segala matahari dan sinarnya
siapkah kita? dengan idealisme masa muda
memorakporandakan durjana

kini sampai senja kita
jelang detik persiapan di pintu perubahan,
setelah kurun waktu lama terkurung aturan,
dari arena pijakan yang berubah jadi landasan

narasi perjalanan bukanlah angan-angan
narasi perjalanan bukanlah khayalan
narasi perjalanan bukanlah kenangan
ia bagian perjalanan yang kian panjang

Jakarta, 15 September 2011
ps: teristimewa untuk Kakak-Kakak yang hendak "terbang"

Senin, 02 April 2012

KREDO PROSA

untuk orang-orang yang meminta

    Mungkin para pembaca tulisan ini akan bingung sejenak karena judul yang terbaca: "Kredo Prosa". Kenapa bukan kredo puisi? Bukankah prosa itu sudah sangat bebas untuk dibuat tanpa perlu "pembelaan"--mungkin pembelaan atas harmonisasi alur masih dianggap perlu. Namun kredo terhadap pemakaian nama tokoh, inspirasi cerita itu dalam pikiran penulis adalah hal yang sangat kurang perlu. Untuk apa lagi menanyakan kebenaran dari cerita fiksi?

    Di dalam prosa--dalam hal ini cerita pendek, unsur yang dikedepakan ialah fiksi. Adapun penggunaan fakta berupa latar, kesamaan tokoh dan kesamaan cerita dengan kehidupan nyata tidak perlu digugat. Sebab akan sia-sia menggugat sesuatu yang sudah tergolong ke dalam fiksi. Lain soal bila yang dihadapi ialah teks berita. Yang disajikan dalam berita itu sudah seharusnya memberikan informasi kepada pembaca yang bernialai kebenaran seutuhnya tanpa boleh dicampuri lagi imajinasi si pembuat. Maka dalam tataran berita, pembenaran atau ralat terhadap sesuatu yang salah merupakan hal yang penting.
    Sudah seharusnya kita ketahui bahwa yang dinamakan sebagai "fakta" haruslah dapat dibuktikan dengan pancaindera. Sementara bila berbicara tentang fiksi, unsur-unsur yang ada di dalamnya sanagat mungkin dari sesuatu yang fakta, namun olahan berupa kreativitas dan imajinasi penulis yang dicampur-baurkan ke dalam fakta tidak bisa lagi dikatakan sebagai fakta. Ia fiksi, dan hanya akan fiksi meskipun berawal dari fakta.
    Jangan pula kita lupa bahwa karya sastra dapat dikatakan sebagai bentuk refleksi atas kehidupan yang terjadi di sekeliling penulis atau pengarang. Akan tetapi, lagi-lagi refleksi itu sudah "dicemari" campuran-campuran lain--yakni kreativitas dan imajinasi. Sehingga ketika kita bertindak sebagai pembaca yang baik, pikiran bahwa tokoh dalam cerita yang disajikan adalah murni pengarang itu sendiri patutlah dibuang jauh-jauh. Ada baiknya cerita itu dipandang dari segala kemungkinanan yang positif, seperti melihat tema, dan pesan-pesan tersembunyi di dalamnya, sehingga meminimalkan label negatif yang tidak perlu dalam hasil karya.
   Sebagai contoh, bahwa awal tahun 2012 kita dihebohkan oleh kasus penabrakan yang dilakukan oleh tersangka Afriyani. Hal itu merupakan fakta, yang terdapat rekam jejaknya, ada saksi dan jelas ada koban penabrakannya. Lalu misalkan penulis membuat cerpen berjudul "Wanita yang Dipersalahkan" dengan ciri-ciri dan kejadian yang hampir sama dengan kasus penabrakan tersebut, sangat mungkin pembaca berasosiasi pada kasus itu. Namun, cerita yang diciptakan itu ialah hasil dari proses kreatif dan imajinasi pembuatnya, dan pada akhirnya sah-sah saja mengambil fakta sebagai bahan untuk dikonversi menjadi fiksi.

Ballada Orang-orang Tersesat



Ribuan hasta jaraknya darimu bukanlah hal yang patut disesalkan. Kita memang belum bersama, belum punya alasan untuk harus selalu ada di sisi satu sama lain. Halnya Tuhan dengan ciptaan-Nya. Tuhan pun masih dapat kita temui dalam sudut di jasad ini, kita temui dalam rasa batin. Kau bisa temui aku di salah satu ruang terbaik tubuhmu dalam berkasih-kasihan, dalam mencinta. Aku juga begitu. 

Kini, di saat malam hendak berganti, ketika malam mau pergi jauh untuk kembali lagi nanti. Kita cukup keras satu sama lain. Aku adalah aku, kau adalah kau. Belum lagi jadi aku kau yang hanya kita temui saat bertemu. Kita dilarutkan pada percakapan yang mengiris. Aku teriris jadi seribu, kuanggap kau baru lampaui seratus bagian potongan yang kupunya. 

Kau bawa aku menerka sosok-sosok yang aku ludahi dalam bayangku. Aku pasang tembok panjang berliku, mengelak-elak dengan elok, pikirku. Aku bukan kau dalam begitu. Aku muak dengan mereka, kadang denganmu. Muak karena kau bukan satu barang yang bisa dikehendaki sesukaku, kau juga manusia yang punya hidup di luar denganku.

Sengit adalah percakapan itu dan malam yang menyelimutinya. Kita adukan pengalaman dan perasaan menjadi sesuatu yang amat tajam. Kau terbiasa memegang pisau, aku sudah terlatih dengan parang. Hidup ini rimba raya, bukan? Ada yang perlu dipangkas segera. Pangkas saja semua diluar kita! Kau bilang mereka punya hidup, tapi apa hidup mereka berpengaruh pada angkasa kita? Aku tak mau lagi bicara seakan-akan kita dewasa. Kupikir kau sudah lelah jadi si kecil yang tersakiti batinnya, kau lebih suka jadi dewasa di tengah orang dewasa lainnya.

Kita punya impian: bersama. Sejenak pangkaslah halmu, kutebas halku. Aku tidak bicara seolah kita benar-benar dewasa. Aku ingin pastikan kau masih punya angkasa yang ditinggal anak kecil beranjak remaja, remaja beranjak dewasa dan tua, mati. Mati. Tanpa punya angkasa, jadi tak punya kita.

19.3.2012

Bila malam belum habis

"aku akan terus menulis
bukan karena semata-mata
keinginanku sendiri
melainkan karena tuntutan
jiwaku untuk terus dan tetap
mewarnai setiap jengkal
dunia sastra

:aku berpijak di sana"