tentang ide

Dan aku tidak akan lagi percaya pada ide dari cerita-cerita lainnya

Rabu, 15 Desember 2010

Contoh Paragraf Perbandingan dan Analogi; oleh Abimanyu Isranto, 1006699064


Paragraf Perbandingan

Tentu kita sering atau paling tidak pernah membeli dan meminum susu Ultra kemasan sedang. Dengan berbagai rasa seperti coklat, stroberi dan vanila. Namun harganya terkadang berbeda antara susu Ultra biasa dengan susu Ultra Low Fat-High Calsium. Harga yang ditawarkan di pasaran biasanya Rp500,00 lebih mahal untuk susu Ultra Low Fat-High Calsium. Mengapa demikian? Bagi pakar gizi perbedaan harga pada kedua produk ini dianggap sebagai sebuah hal yang sederhana. Ya. Karena nilai kandungan dan kebermanfaatan pada susu Ultra Low Fat-High Calsium lebih tinggi dari pada produk susu Ultra biasa yang di dalamnya masih terdapat kandungan lemak yang memungkinkan pengonsumsinya menjadi gemuk. Sehingga pada susu Ultra Low Fat-High Calsium kandungan kalsium pada susunya dua kali lipat dari susu Ultra biasa.

Paragraf Analogi

Telah diriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Huban, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci pada orang-orang yang keras kepala (ketika dinasihati) lagi sombong, mencari keributan di pasar, membangkai di waktu malam, menjadi himar di waktu siang, pandai dalam perkara dunia namun bodoh dalam perkara akhirat”. Yang dimaksud dengan membangkai di waktu malam ialah bagi orang yang pada waktu sepertiga malam tidak bangun dari tidurnya untuk menunaikan salat malam atau sekadar untuk berdoa di waktu yang mustajab tersebut. Sementara yang dikatakan dengan menjadi himar di siang hari ialah bagi orang yang sangat sibuk saat siang hari sehingga ia lupa dan lalai pada kewajibannya melaksanakan salat lima waktu.

Jumat, 10 Desember 2010

Aku dan Beliau: Bagian III

Langkah kakiku sigap saat melangkah menuju pintu masuk rumahsakit yang temanya "bersahabat". Pintu kaca bergagang pintu silver mengilap kusibakkan. Terasa benar hawa dingin yang dihembuskan mesin pendingin ruangan itu. Aku mengamati sebentar ke sekitar ruang tunggu rumahsakit yang agak sepi itu. Beruntung aku menangkap sesosok yang kukenal sehingga tak butuh waktu yang lama bagiku untuk menemukan keluargaku yang sudah terlebih dahulu sampai di rumahsakit.
"Pak, Eyang di mana sekarang?", tanyaku pada bapak dengan suara bernada rendah.
"Eyang lagi di ICU", jawab Bapakku dengan wajah yang letih. "Bapak mau urus registrasi sama administrasinya dulu. Kamu tunggu aja di sini. Di dalem gak boleh terlalu banyak yang nunggu", bapak menambahkan.
"Oh, yaudah", timpaku pada pernyataan bapak barusan.
Perlahan aku menuju sebuah bangku berwarna biru tepat di sebelah seorang ibu yang sepertinya juga sedang mengurusi registrasi sanak saudaranya yang sakit. Aku memperhatikan tingkah pola anaknya yang tidak bisa diam seperti cacing kepanasan. Bosan melihatnya. Bosan menunggu kabar yang nantinya diberikan dokter mengenai diagnosa penyakit kakek.
"Apakah Kakek akan dan ahrus di rawat inap?", terlintas cepat perkataan itu dalam benakku.
Aku rasa tak baik berpikir begitu. Sambil mencoba menghilangkan pikiran-pikiran ngawur yang selau lewat tiba-tiba, aku merogoh tas rajutan jaring yang kubawa. Perlahan kuambil buku kumpulan cerpen di dalamnya.
Membuka lembar demi lembar yang sebelumnya sudah terbaca sampai terhenti pada suatu halaman dengan kertas pembatas di antara ruas-ruas halaman. Aku mulai asyik membaca, namun agak sedikit kumat. Beginilah diriku. Ketika sedang asyik membaca dan mulai terbawa jalan cerita, rasa kantuk yang maha dahsyat melanda. Mirip orang sakit yang terkena efek bius seorang dokter. Aku terlelap, tapi sekejap terbangun dan terperanjat kaget entah karena apa.
Hampir satu jam aku menunggu, belum jua ada kabar yang datang. Sekalipun nenek, om, pakde dan ayah bergiliran datang menghampiriku tetap belum ada hasil pemeriksaan.
Aku mulai meragukan kompetensi rumahsakit ini.
"Rumahsakit macam apa ini?!", teriakku dalam hati.
---
Jam digital di tanganku sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sudah ada diagnosa. Dokter nyatakan Kakek harus segera dirawat inap. (in progress)

Selasa, 07 Desember 2010

Aku dan Beliau: Bagian II

Ternyata anak perempuan Kakek yang barusan menelepon ke rumah belum bisa datang sebab harus menunggu suaminya yang sedang bepergian untuk mengantarkannya. Namun Ia berjanji untuk menuju rumahsakit segera setelah suaminya bisa mengantarkannya. Menyikapi hal tersebut, tiga orang anak Kakek yang sudah berkumpul berinisiatif membujuk Kakek agar mau dibawa ke rumahsakit. Segala upaya lewat ucapan manis dilontarkan sehingga berbuah manis pula pada anggukan Kakek, pertanda Ia mau dibawa dan melakukan pemeriksaan terhadap kesehatannya di rumahsakit. Tanpa mengulur waktu yang ada, Kakek dibopong agar bisa duduk di kursi roda yang telah kupinjam. Lalu nenek, pakde, om dan bapakku mendampingi Kakek menuju rumahsakit menumpangi taksi yang telah dipersiapkan sebelumnya di ujung gang. Di rumah hanya tersisa aku, ibu, bude dan beberapa adik serta sepupuku.
"Bi, kamu nyusul ke rumahsakit aja naik motor sendiri. Si Ilham biar standby di sini kalo ada apa-apa", Bude berkata padaku memecah heningnya suasana, mengisyaratkan agar aku pergi ke rumahsakit menyusul rombongan yang telah berangkat tadi.
"Yaudah, saya berangkat dulu ya. Assalamualaikum", jawabku berpamitan setelah mempersiapkan diri.
Motor matic yang biasa kupakai telah kutunggangi. Aku hanya membawa tas rajutan jaring berisi sebuah buku kumpulan cerpen "Tembang Bukit Kapur" yang kuharapkan nanti dapat membantuku membunuh kebosanan saat berada di rumahsakit. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menerka, meraba dan berasumsi tentang penyakit yang menghinggapi tubuh Kakekku sekarang. Antara rumahku dan rumahsakit cukup ditempuh dalam waktu 10 sampai 15 menit menggunakan sepeda motor. Bisa dibayangkan betapa dekat jaraknya. 
Setelah melalui jalan-jalan besar yang diiringi perumahan yang sepi lalu lalang kendaraan serta melewati bebrapa lampu lalu lintas, aku menggeser tombol lampu sein kearah kiri sebelum memasuki pintu parkir rumahsakit.
"Akhirnya sampai juga", bisikku dalam hati.
Setelah menerima kartu tanda parkir aku bergegas mencari tempat parkir untuk memarkirkan motorku. Tempat teduh di bawah pohon berpermadanikan aspal yang lembab kupilih untuk parkir di sana.

***********************************************************************************

Senin, 06 Desember 2010

Aku dan Beliau: Bagian I

"Nama saya Widodo, tapi gak pake A.S. lho ya... hehe", begitulah biasanya Kakekku berkelakar ketika berkenalan dengan orang yang baru dikenal dan ingin mengetahui namanya. Tapi itu sudah berlalu sekian waktu yang lampau. Sampai akhirnya Kakek terjatuh dari tempat tidurnya menjelang salat Subuh, pada akhir bulan Agustus 2010. Aku dan keluarga yang berada serumah dengannya sontak kaget perihal jatuhnya. Tidak biasanya Kakek seperti ini. Kakek sempat mengeluh tidak merasakan anggota badannya di bagian sebelah kanan. Dengan kecemasan yang masih menempel disetiap benak istri, anak, menantu, dan cucunya, sigap Ibuku mengambil telepon genggamnya kemudian berganti mengambil telepon rumah untuk menghubungi kakak dan adik-adiknya mengenai kondisi Kakek. 
Hingga beberapa menit setelah ibu menelepon, kakaknya -yang merupakan anak pertama dari kakekku- sampai di rumah Kakek. Ia mengucap salam dan bergegas menuju kamar Kakek untuk melihat kondisinya sekarang. Sejauh yang kutahu Kakek sangat antirumahsakit. Kakek baru pernah sekali masuk rumahsakit seumur hidupnya, itupun karena keadaan yang mengharuskannya untuk dioperasi.  Maka tak heran bila Kakek menolak untuk dibawa ke rumahsakit saat itu. Sambil menunggu kedatangan anak-anaknya yang lain, ibu menyuruhku meminjam kursi roda milik almarhum Pak Amin, tetanggaku yang rumahnya berada di persimpangan gang, kepada istrinya.
Sesampainya kembali dari mengambil kursi roda, aku sudah mendapati satu lagi anak laki-laki Kakek datang. Kondisi fisik dan mental Kakek jauh lebih menurun sekarang sebab mulai mual dan mengeluarkan segala yang bisa dikeluarkannya dari dalam perut. Anak bungsunya yang perempuan menelepon ke rumah menanyakan kondisi terakhir Kakek.
"Rin, cepetan kemari! Bapak gak mau dibawa ke rumahsakit kalo lo belom dateng", tegas Ibu berkata dalam percakapannya ditelepon dengan adiknya yang bungsu itu.
Semua orang yang berada di rumah saat  itu memberikan kontribusinya masing-masing; entah dengan berdoa, menyiapkan barang bawaan untuk ke rumahsakit, bahkan diam sekalipun akan membantu menenangkan keadaan yang sedang berlangsung.
**********************************************************************************

Jumat, 03 Desember 2010

Memahamimu I

mendekapmu dalam 
keheningan malam,


sama:


seperti awan kosmos
selimuti berkasberkas
cahaya rembulan
yang hendak menepi


Rumah, 22 Nov 2010

"tentang sebuah pelajaran: III"

aku mengagumimu
saat langit mulai melempar 
senja entah ke mana
diburu rembulan dalam 
perspektif apapun, di manapun,
kapanpun
hingga detik terakhir
meski surya mendominasi


aku berdiri untuk mengagumimu,


masih
mengagumimu

Jakarta, 24 Nov 2010

Rabu, 01 Desember 2010

"tentang sebuah pelajaran: II"

di bawah temaram lampu
dalam hening bersahut sendu
tepat di balik tubuh ini berkelebat
dengan mata tajam menyala di gelap

niat jahil sebentar
menjemput memar:
cekatan telapakan
menggempur
pada bidang wajah
malang tanpa dosa
tak menuai gempar
hanya beroleh sunyi
diiringi tapak kaki

tuhan, aku ingin setabah kucing

Depok, 22 Nov 2010

Bila malam belum habis

"aku akan terus menulis
bukan karena semata-mata
keinginanku sendiri
melainkan karena tuntutan
jiwaku untuk terus dan tetap
mewarnai setiap jengkal
dunia sastra

:aku berpijak di sana"