tentang ide

Dan aku tidak akan lagi percaya pada ide dari cerita-cerita lainnya

Sabtu, 26 Mei 2012

Perjalanan Kisah Merah yang Diagungkan Dewasa Ini

      Semua orang ribut menafsirkan yang satu ini. Yang satu ini bagi seseorang adalah begini, bagi yang lain ya bisa jadi hanya sekadar begitu. Namun yang satu ini tidak pernah hadir secara materi ke dalam alam nyata manusia. Yang satu ini kadang cuma bisa ditafsir setelah ia menjadi-jadi di kehidupan kebanyakan manusia. Tak heran topik yang satu ini selalu melejit dari zaman ke zaman. Yang satu ini datang ke dunia sebagai bentuk lain berupa sinyal dan simbol dan kita pahami sebagai yang satu ini.
     Dalam pangkal persoalan lain, masing-masing manusia memiliki caranya sendiri memandang dan mengungkapkan sesuatu. Pandangan akan hal yang satu dengan yang lain memang selalu terdapat beda. Kalaupun ada sama, boleh jadi itu ketidaksengajaan yang bisa dikategorikan sebagai sama. Termasuk cara manusia memandang yang satu ini. Bagi mereka yang sudah sering mengalami yang satu ini dapat dipastikan ia bertumpu pada pengalaman lahir dan batinnya. Sementara bagi mereka yang belum pernah mengalami, mereka akan menggalinya dari apa yang telah mereka amati sebagai "pelancong" terhadap yang satu ini. Pada intinya, baik manusia merasakan yang satu ini secara langsung atau pun secara tak langsung tidak menjadi persoalan. Sekali lagi, manusia memiliki kebebasan masing-masing dalam berpikir.
     Kemudian penulis tulisan ini sebagai satu dari sekian miliar manusia yang pernah terjun ke dunia melakukan aktivitasnya juga memiliki hak mengemukakan pendapat di sini. Jadi sekiranya tulisan ini boleh dianggap serius, boleh dianggap pula sebagai yang tidak serius atau biasa saja. Barang kali tulisan ini membantu pemahaman terhadap yang satu ini. Bagi mereka yang belum merasakan yang satu ini, jangan pasang kuda-kuda terlalu kuat, jangan injak rem terlalu dalam. Nikmati saja ketika nanti tiba saat ketika yang satu ini datang pada kalian.
     Begini kira-kira permulaan cerita. Rupa-rupa kalam orang menafsirnya. Konon di kala pagi menyengat dengan sangat, salah satu ruang besar menyesak dalam kerumunan. Si aku melihat ke sana ke mari, tiba kegaduhan karena waktu rehat sudah tiba. Sang Komandan berteriak memberi instruksi ke sini, ke sana, jangan begini, boleh begitu, baiknya ke situ, bukan ke sini. Orang-orang putih hanya melihat dalam kelesuan yang mendalam, yang amat muak kalau boleh dimuntahkan di karpet ruangan itu juga.
    Orang putih yang bercorak hijau harus menunggu, termasuk Si aku. Orang putih yang lain dengan empat corak berbeda harus bergegas segera. Si aku masih sibuk menjelajah ke mana pandangnya akan berhenti sekiranya. Lalu berhenti tepat pada sosok yang dianggap serupa dewi khayangan. Orang putih bercorak merah. Manis sekali. Ideal dengannya, pikirnya. Harapan adalah segala-galanya seperti bintang di langit yang menghampar dengan rimbunnya. Keyakinan akan orang putih itu hanya satu selayaknya matahari dalam jagad semesta. Harapan dan keyakinan berbaur hingga pada perjamuan yang lain, di tempat yang lebih layak bagi para pencari kehidupan.
     Pertemuan pertama entah bagaimana, sebab itu bukan lagi yang utama. Barang kali Si aku dan orang putih bercorak merah itu sama-sama pengecut sebab nasibnya sama-sama kurang baik. Namun waktu berkata lain, mencoba mengisyaratkan kebuntuan jalan masing-masing dari dua manusia itu. Satu periode lamanya adalah intaian Si aku pada orang putih bercorak merah yang kini boleh saja dinamakan Si dia.
     Pertemuan selanjutnya dan sekian-sekian adalah kelanjutan dari yang pertama. Mereka berdua serba ingin tahu. Perlu diingat bahwa corak mereka berbeda, hijau dan merah. Namun justru corak itu melebur bersama, mencoba mencari jalan peleburannya sendiri dengan coraknya masing-masing. Inilah yang dimaskudkan sebagai yang satu ini. Barulah kiranya pembahasan yang satu ini, mengenai pola, siklus dan tingkah lakunya bergulir-gulir. Dari sekian penafsiran yang boleh, maka ini diambil berdasr pada cerita Si aku dan Si dia.

       PERIODE AWAL
Segalanya yang timbul dari Si dia mereaksi kepada Si aku. Seolah-olah Si dia bintang tercantik yang pernah muncul di seribu malam terakhir yang akan dijalani Si aku. Pandang Si aku haram untuk absen barang sejenak. Sementara itu, Si dia masih saja sibuk menerka, menguji, mencari letak kenyamanan karena Si aku. Mencari jawaban yang sangat sederhana: ke depannya semua akan baik-baik saja.
      PERIODE TENGAH TAHUN
Kalau jasad pernah bernyawa dan manusia sulit mengambil jalan memisahkannya, maka itu yang terjadi antara Si aku dan Si dia. Akan tetapi kecenderungan Si aku ialah yang memegang kendali jalannya yang satu ini dengan alam pikirannya tanpa campur baur perasaan,. Baginya perasaan hanya ada kebaikan buat Si dia, tidak boleh diperuntukkan bagi apapun. Periode ini bertahan terus hingga menapaki PERIODE TAHUN PERTAMA.
      PERIODE TAHUN PERTAMA
Semua tampak baik-baik saja. Si aku mulai merasa telah mengenal lahir batin Si dia, hingga merasa bahwa sedikit lagi dan semua baik-baik saja. Lalu yang terjadi selanjutnya ialah debat sengit antara satu dan yang lainnya. Merasa bahwa seharusnya perlu dibicarakan. Bukan lagi tentang angan-angan. Segala yang nyata dipertanyakan. Membara dan terkadang redam, terkurung dalam bongkahan es kutub.
     PERIODE TAHUN KEDUA
Kesadaran dan perubahan ke arah yang lebih baik adalah segalanya dalam periode ini dan selanjutnya. Si aku telah kenal betul Si dia, seharusnya/semestinya/sepatutnya/sebiasanya Si dia berlaku seperti ini. Lain dari iru adalah aneh. Si dia mulai menyadari akan bahaya membawa alam perasaan pada dudukan yang memanjakan. Si dia coba bangkit berdiri pada telapaknya sendiri: berhasil. Hasilnya Si aku merasa aneh, keraguannya membawa pada sebuah kerapuhan. Dibangkitkannya perasaan yang sebelumnya bertanda istirahat untuk diaktifkan kembali. Si aku tampak tidak sadar, baginya Si dia adalah dia yang tiada akan bisa berdiri dalam waktu secepat ini. Jalan dari segala pokok persoalan adalah membincangkannya. Bukan tentang siapa yang seharusnya menang atau siapa pihak kalah dalam bara api ini. Semua berhak mendapatkan haknya sebagai Si aku dan Si dia. Semua harus pula seimbang, sebab pada hakikatnya, yang satu ini hadir di antara dua yang harus saling melengkapi satu sama lain. Dalam satu periode awal, sangat jarang keduanya bertumpu pada pijakan yang sama, entah rasa entah alam pikiran.

                                                                                Jakarta, 26 Mei 2012

Bila malam belum habis

"aku akan terus menulis
bukan karena semata-mata
keinginanku sendiri
melainkan karena tuntutan
jiwaku untuk terus dan tetap
mewarnai setiap jengkal
dunia sastra

:aku berpijak di sana"