tentang ide

Dan aku tidak akan lagi percaya pada ide dari cerita-cerita lainnya

Selasa, 28 Juni 2011

Hanya Sekadar Berbagi-Esai untuk Pengajuan Beasiswa



Sastra Indonesia Sebagai Pilihan yang Penuh Pertimbangan[1]

"And in life, it is all about choices we make. And how the direction of our lives comes down to the choices we choose."  -Catherine Pulsifer, from HONESTY. . . A Core Value?-

Kehidupan menghadirkan pilihan-pilihan yang pada akhirnya harus kita tentukan melalui sebuah keputusan. Keputusan yang terciptapun bukan berarti tanpa pertimbangan. Seperti halnya pernyataan bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan haruslah berdasarkan pada apa yang kita sukai. Sebab akan menjadi bumerang bagi kita apabila telah memilih yang ingin kita kerjakan, namun tidak menuruti keinginan yang ada di dalam hati kita. Begitu pula pertimbangan yang saya ambil ketika memilih untuk meneruskan studi saya dari jenjang sekolah menengah atas (SMA) menuju perguruan tinggi. Saya menelusuri keinginan hati saya, memikirkan dampak-dampak dari pilihan-pilihan yang hendak saya buat. Hingga pada akhirnya saya bertemu dengan salah seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia angkatan 2008 yang kini menjadi senior saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia (FIB-UI). Pertemuan yang cukup singkat itu diwarnai dengan diskusi seputar kehidupan kampus Universitas Indonesia dan pilihan jurusan, khususnya sastra Indonesia. 
Mengenai penjelasannya yang cukup singkat dan padat, ada satu hal yang hingga kini masih membinarkan kedua mata saya, yakni filologi, salah satu peminatan yang terdapat pada jurusan Sastra Indonesia. Ketertarikan saya pada filologi oleh karena bidang ini menjadikan naskah-naskah klasik sebagai objek dari penelitiannya. Naskah klasik yang diteliti pun berkisar pada abad ke-18 hingga abad ke-19. Aksara yang digunakan dalam naskah klasik ialah aksara Jawi (Arab-Melayu), hal itu menyebabkan saya semakin tertarik dengan filologi serta pernaskahan klasik Indonesia karena saya senang mempelajari penulisan pegon (Arab-Jawa) secara otodidak. Pikir saya waktu itu akan menjadi suatu kemudahan tersendiri sebab sudah terbiasa dengan penulisan pegon, sehingga saya hanya tinggal mengasah pengetahuan tentang aksara Jawi. Selain karena faktor filologi, faktor lainnya ialah keyakinan bahwa akan lebih mudah memelajari dan akan bermanfaat bagi bangsa Indonesia jika ada pemudanya yang secara sadar mau belajar kesusastraan Indonesia.
***
Hal yang saya impikan ketika resmi diterima sebagai mahasiswa program studi Indonesia di Universitas Indonesia ialah saya akan belajar dan menyelesaikan studi saya secepat mungkin, yakni 3,5 tahun. Setelah itu ada tiga pilihan rencana universitas yang telah saya buat untuk tujuan saya setelah lulus, yaitu Universitas Leiden di Belanda, Universitas Bonn di Jerman, dan Universitas Monash di Australia. Seperti yang kita ketahui, Universitas Leiden menyimpan koleksi naskah-naskah klasik Indonesia dan perlu diakui juga bahwa koleksinya merupakan yang terbanyak di dunia, bahkan mengalahkan koleksi yang ada di Indonesia. Universitas ini saya rasa sangat cocok untuk lebih mengembangkan minat saya di bidang filologi. Mengingat pula banyak para tokoh kesusastraan hebat yang pernah lahir dari universitas tersebut, seperti Andreas Teeuw.
Selanjutnya saya menjatuhkan pilihan rencana pada Universitas Bonn, Jerman, oleh karena saat di SMA saya mempelajari bahasa Jerman. Saya optimis bisa memelajari/ mengasah kembali bahasa Jerman untuk membantu saya jika nanti saya berkuliah di Universitas Bonn. Pemilihan Universitas Bonn sebagai tujuan studi saya tak lain ialah karena dipengaruhi tokoh sastrawan terkenal dari Jerman, yaitu Nietzche yang belajar filologi dan teologi di sana. Setidaknya jika saya berkesempatan kuliah di Bonn, saya masih bisa sesekali mengunjungi Universitas Leiden—mengingat negara Jerman berbatasan langsung dengan negara Belanda.
Pilihan rencana terakhir ialah Universitas Monash, Australia. Mengapa Australia? Karena saya terinspirasi oleh dosen kesusastraan FIB UI, yakni Ibnu Wahyudi yang pernah melanjutkan studi pascasarjananya di Universitas Monash, Australia. Selain itu, kedua orangtua saya pun juga memberikan saran pada saya agar menjadikan Australia sebagai negara tujuan untuk membina hidup kelak. Menarik memang ketika mengetahui bahwa di Australia pelajaran bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang wajib dipelajari oleh murid-murid sekolah dasar.
Semua rencana tersebut saya buat bukan tanpa tujuan dan alasan. Banyak orang dan hal-hal di sekeliling saya yang mengilhami saya untuk membuat rencana-rencana tersebut. Namun yang utama ialah suntikan motivasi dari keluarga. Saya yang merupakan anak kedua dari 7 bersaudara ini bercita-cita untuk sukses pada bidang yang saya geluti sekarang—Sastra Indonesia, dan berniat membawa serta seluruh keluarga saya membangun hidup di luar negeri, entah Belanda, Jerman atau Australia. Melalui bidang ini pun saya berkeyakinan mampu memperkenalkan budaya Indonesia yang berupa naskah klasik sebagai nilai-nilai budaya yang penting untuk dipelajari oleh seluruh penduduk dunia, khususnya masyarakat Indonesia. Seringkali saya berkaca pada negara-negara maju, sebut saja Jerman, yang hingga kini bisa tetap modern namun tidak kehilangan identitas budayanya. Dengan memelajari cara mereka melestarikan budayanya, maka saya yakin pula dapat melakukan sumbangsih yang sama terhadap bangsa Indonesia.
Untuk melancarkan rencana-rencana yang saya jabarkan di atas, kini hidup saya jauh lebih tertata dan diisi dengan aktivitas-aktivitas yang pada hakikatnya menunjang studi dalam rangka mempersiapkan diri menuju dunia global. Sejak awal semester satu saya telah bergabung dengan komunitas Markas Sastra. Banyak hal yang bisa saya dapat dari komunitas ini melalui diskusi-diskusi serta kegiatan-kegiatan dalam ranah kesusastraan. Pada akhir semester kedua, saya pun dinobatkan sebagai ketua Markas Sastra untuk satu tahun periode 2011/2012. Saya juga terlibat aktif dalam redaksi majalah terbitan program studi Indonesia, yaitu “Gaung” sebagai reporter. Selain itu pada pertengahan bulan Juni 2011, ayah saya mengajak saya menghadiri konsultasi bahasa Inggris gratis di MH. Thamrin oleh English for Success. Secara mengejutkan, di akhir konsultasi, saya didaftarkan untuk menjadi peserta les pada tempat tersebut. Inilah yang menjadi batu loncatan saya agar bisa mengembangkan pula kemampuan dalam berbahasa Inggris. Sehingga pada akhirnya saya pun dapat mewujudkan cita-cita saya kelak.


[1] Judul Esai sebagai persyaratan pengajuan Beasiswa Tanoto Foundation 2011 oleh Abimanyu Isranto, mahasiswa Program Studi Indonesia angkatan 2010 dengan NPM 1006699064.

3 komentar:

  1. Salam,
    Beasiswa Tanoto-nya lolos ga?

    BalasHapus
  2. mas, punten, saya ijin mengikuti format pembuatan esai nya ya..sekalian juga saya ambil bbrapa kata dari esai mas...sekali lagi maaf mas...makasih...

    BalasHapus
  3. ariyuli: saya belum berkesempatan mendapatkan beasiswa tersebut.. agaknya esai haruslah bercitarasa nasionalis, dan bernilai dedikasi tinggi terhadap bangsa.. gunakan pula pengalaman hidup yang nyata pernah dialami yang sifatnya pahit demi merangsang rasa iba... Buat tulisan sejujur-jujurnya

    ucok: kalau boleh tahu bagian yang mana??? tak apa...

    BalasHapus

Bila malam belum habis

"aku akan terus menulis
bukan karena semata-mata
keinginanku sendiri
melainkan karena tuntutan
jiwaku untuk terus dan tetap
mewarnai setiap jengkal
dunia sastra

:aku berpijak di sana"